31 Desember 2017

745


Tak lama lagi, kukulintingan akan berumur dua tahun. Momen yang tidak terlalu jelek untuk melihat ke belakang. Banyak hal yang sudah berubah, entah lebih baik atau lebih buruk. Dan masih banyak pekerjaan rumah yang tersisa.

Kalau mau jujur, kukulintingan dimulai sebagai curhat visual saya dan teman-teman sebagai pejalan kaki, khususnya di Kota Bandung. Keinginan saya rasanya tidak aneh-aneh: trotoar rata dan bebas penghalang, supaya saat berjalan kaki saya tidak perlu berbelok-belok, melipir-melipir, apalagi harus turun ke jalan. Setidaknya ada dua hal yang membuat keinginan sederhana ini tak terpenuhi. Yang pertama fisik trotoarnya yang rusak. Yang kedua adalah segala jenis penghalang yang bisa ditemui di trotoar: PKL, tali air, pot kembang, pohon, tempat sampah, bangku, sebut saja.

Karena motivasinya curhat, harus diakui mudah sekali terjebak pada subyektivitas dan pilih-pilih obyek. Mata saya terlatih menemukan kekurangan-kekurangan trotoar, bahkan yang baru direnovasi sekalipun. Kadang-kadang mau saya jadi tidak jelas. Kali ini protes karena pohon menghalangi trotoar. Kali lain protes karena pohon ditebang.

Yang jelas, dua tahun ini saya belajar banyak. Dari pengalaman, diskusi dengan teman-teman, membaca, dan menulis seperti ini. Walkable City-nya Jeff Speck mungkin buku yang paling penting yang saya baca tahun ini. Tidak semua hal saya sepakati, terlebih titik tolak buku ini adalah Amerika Serikat, tapi setidaknya buku ini memberi perspektif baru bagi saya. Karena buku ini, juga pengalaman dua tahun kukulintingan (harfiah dan kiasan), pandangan saya juga banyak berubah. Ada hal-hal yang dua tahun lalu saya anggap sebagai gangguan misalnya, namun saat ini tidak lagi. Begitu juga sebaliknya.

Salah satu yang berubah adalah pandangan saya tentang PKL. Dulu saya beranggapan PKL mutlak tidak boleh ada di trotoar. Sekarang saya beranggapan bahwa yang terpenting adalah pengaturan dan penyesuaian dengan situasi. Di trotoar yang lebarnya hanya satu meter, sudah tentu tidak layak untuk PKL. Namun di trotoar yang lebar, kenapa tidak, selama tidak menghalangi zona bebas untuk pedestrian. PKL bisa menjadi salah satu unsur interesting walk (perjalanan yang menarik) versi Jeff Speck. Keberadaan PKL di trotoar bahkan sudah diakomodasi dalam pedoman Kementerian PU tentang fasilitas untuk pejalan kaki.

KUKF = Kegiatan Usaha Kecil Formal
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03/PRT/M/2014
tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan dan Pemanfaatan
Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan
Selain PKL, pandangan saya tentang pohon di trotoar juga berubah. Foto-foto awal kukulintingan masih sering memperlihatkan trotoar yang terhalang pohon. Hal ini memang sering tidak terhindarkan, karena banyak jalan di Bandung yang relatif sempit, sehingga pelebaran jalan sering memakan lahan untuk trotoar maupun pohon. Padahal, iklim adalah salah satu faktor penentu yang menyebabkan Bandung masih bisa dikategorikan walkable, dan banyaknya pohon memegang peranan yang krusial. Pendekatan yang paling sering dilakukan saat ini adalah menebang atau memotong akar pohon. Atau pendekatan konyol seperti menyemen pohon. Padahal ada teknik-teknik yang dapat diterapkan sehingga baik pohon maupun zona pedestrian bisa eksis bersama-sama.


Tidak hanya pohon di lahan trotoar yang sempit, entah mengapa di lahan yang cukup lebar pun, jalur hijau dihilangkan dan diganti perkerasan beton atau granit. Sering kali, penggusuran jalur hijau ini untuk memberi ruang bagi fasilitas-fasilitas penunjang yang tidak berkaitan langsung dengan fungsi utama trotoar. Padahal jalur hijau selain berfungsi sebagai zona penyangga antara trotoar dan jalan, juga berperan penting sebagai daerah resapan.



Hal yang sering ambigu buat saya di Bandung adalah jalur pemandu (tuna netra). Di satu sisi, saya tentunya berharap semua trotoar aman bagi tuna netra, antara lain dengan terdapatnya jalur pemandu. Berdasarkan logika, trotoar yang aman bagi pedestrian tuna netra sudah tentu aman bagi pedestrian berpenglihatan normal. Namun demikian, kebalikan logika ini juga berlaku. Trotoar yang tidak aman bagi pedestrian berpenglihatan normal sudah pasti tidak aman bagi pedestrian tuna netra, dan sialnya ini yang masih banyak ditemui.

Masalah jalur pemandu ini menjadi lebih rumit karena ada standar yang harus dipenuhi, namun sering diabaikan entah dalam proses perancangan maupun dalam eksekusi oleh kontraktor. Walhasil kerap kali jalur pemandu dibuat asal-asalan, seolah hanya menjadi hiasan trotoar. Padahal jalur pemandu yang dibuat asal-asalan ini lebih membingungkan, bahkan membahayakan bagi pedestrian tuna netra ketimbang tidak ada jalur pemandu sama sekali.


Hal yang tidak berubah, saya tetap beranggapan bahwa program Pemkot Bandung membuat trotoar mewah kurang tepat, karena menghabiskan dana yang sangat besar hanya di pusat kota. Lebih baik membuat trotoar sederhana namun fungsional di seluruh kota. Kasus yang sempat viral, turis asing yang terperosok di trotoar daerah Dago Atas, adalah contoh nyata. Lokasi kejadian hanya berjarak dua kilometer dari Simpang Dago yang merupakan titik awal renovasi trotoar yang konon berkelas internasional.

Pada akhirnya, penataan trotoar di Bandung menurut saya adalah masalah menentukan prioritas. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah audit menyeluruh terhadap kondisi trotoar di seluruh Kota Bandung. Tindak lanjutnya dapat berupa program jangka pendek (perbaikan di lokasi-lokasi rawan) dan rencana jangka panjang yang sasarannya adalah trotoar yang memenuhi standar minimal layak jalan di seluruh kota, serta tetap mengedepankan fungsi ekologis ruang terbuka hijau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar